Opini: Tentang Menulis Cerita Anak
Minggu lalu, lini masa Instagram Story dari @dianiapsari, seorang ilustrator dan teman menarik perhatian saya. Diani membahas hasil Sayembara Penulisan Cerita Anak yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, bersama dengan sayembara penulisan lain yang sudah lebih dulu dilakukan secara tahunan: novel, puisi, kritik sastra. Ini tahun pertama kategori cerita anak diadakan. Di akhir cerita, saat pengumuman pemenang dilakukan, dewan juri memutuskan bahwa tidak ada karya yang layak dijadikan pemenang satu, dua, ataupun tiga. Yang terpilih hanyalah pemenang harapan, mereka yang tulisan-tulisannya menarik perhatian dewan juri.
Saya tidak kaget waktu membaca hasil pertanggungjawaban dewan juri ini. Poin-poin yang mereka catat sebagai gambaran umum hasil keputusan dewan juri ini, mengingatkan saya ke obrolan-obrolan yang terjadi dengan teman-temang Seumpama maupun dengan teman-teman penggiat/ penggemar cerita anak. Namun cerita anak itu luas sekali konteksnya. Kalau Diani membahas betapa kita tidak punya patokan kategorisasi bacaan untuk anak; sebuah ‘canon’ – aturan yang kalau di literatur barat memberi kerangka tahapan membaca yang bahkan masuk ke bagian dari kurikulum literatur secara formal di sekolah. Buat saya ini akhirnya terkait dengan seberapa baiknya kualitas karya yang ditawarkan untuk anak-anak, dan saya jadi ingat tentang betapa banyak hal yang saya harus pelajari ulang saat saya mulai menulis cerita anak.
Tapi, coba saya mulai ceritanya dengan kenapa Seumpama – dan saya akhirnya – jadi menulis buku cerita anak.
Waktu Ninit mulai memberikan ide tentang menulis buku anak pertanyaan saya ke dia: bukannya buku cerita anak tuh ada banyak ya? (Yang memang iya, karena menurut IKAPI, penjualan buku anak di tahun 2013-2014, data terakhir mereka, itu yang tertinggi di antara genre lain.) Kalau kata Ninit, yang waktu itu seorang ibu muda – sekarang masih muda juga sih – dia tidak bisa menemukan buku berbahasa Indonesia yang cocok untuk ia ceritakan ke anak pertamanya waktu itu. Buku cerita anak berbahasa Indonesia yang dia temui di toko buku bahasanya terlalu sulit dan jenis cerita yang ada sedikit monoton: dongeng rakyat atau cerita yang dipenuhi pesan moral. Argumen saya waktu itu: tapi kan gak ada yang salah dengan konten-konten itu. Sambil saya iyakan ajakan Ninit, saya minta kita pakai sedikit riset di tahun pertama itu.
Kami banyak ke toko buku, beli buku-buku yang tersedia di pasar, dan main ke festival buku. Yang kami temukan ini: bukunya banyak, tapi iya ya, kok tidak terasa ya geliatnya. Di festival buku yang kami datangi, dari puluhan sesi diskusi cuma ada dua sesi untuk bicara tentang penulisan cerita anak. Itupun pembicaranya bukan orang Indonesia.
Di awal kami pikir, oh, rasanya memang cerita anak di Indonesia butuh alternatif. Saya tidak mau bilang cerita anak yang ada saat itu jelek, karena Neil Gaiman saja bilang kalau, “there are no bad books for children.” Tapi memang yang tersedia di pasar saat itu tersaturasi dengan pesan dan cara penyampaian cerita yang itu-itu saja. Dan yang kami sangat soroti saat itu adalah, kenapa cara bercerita buku-buku yang beredar terasa sangat menggurui? Terkesan sebuah cerita yang didasari narasi orang dewasa atas dunia anak. Terkesan selalu ada yang harus dipelajari. Kami merasa ada yang komponen besar yang anehnya tidak terasa dari cerita anak yang tersedia saat itu: suara dan perspektif anak-anak. Jadi, sejak saat itu yang kami lakukan adalah belajar melihat variasi cerita dan tema apa yang ingin dibaca – atau dibacakan ke – pembaca muda. Maka kami mulai menulis dengan memikirkan mereka sebagai pembaca utama kami.
Yang terkadang problematik adalah pendapat orang yang berpikir menulis untuk pembaca anak itu mudah. Kalimatnya pendek-pendek, kosa katanya itu-itu saja, konsepnya yang mudah saja tapi jangan lupa pakai pesan moral, tambahkan gambar, 32 halaman – kalau ini buku cerita bergambar – lalu selesai. Coba bandingkan dengan buku novel dewasa yang sampai ratusan, bahkan ribuan halaman, penggunaan bahasa yang lebih kompleks, dan tentu konsep filosofis yang mendalam dalam kompleksitas dunia orang dewasa. Di awal menulis cerita anak, saya bahkan berjanji ke diri saya sendiri kalau menulis cerita anak hanya akan jadi entry point saya sebelum menjadi penulis betulan. ‘Betulan’ di kepala saya adalah menulis untuk pembaca dewasa.
Menulis untuk anak adalah proses belajar yang sangat humbling buat saya. Saat menulis untuk orang dewasa, saya menggunakan perspektif saya tentang dunia: apa yang ingin saya katakan, apa yang ingin saya tunjukkan, apa yang ingin saya buktikan, apa yang ingin saya ceritakan. Menulis untuk anak adalah belajar untuk selalu meminjam perspektif anak-anak melihat dunia. Dan untuk melakukan itu saya harus belajar ulang melihat dunia seperti mereka. Mereka melihat dunia yang sama dengan yang orang dewasa lihat, tapi banyak sekali yang saya harus unlearn. Seringkali saya pikir, “Oh, kayaknya ada konsep-konsep yang terlalu sulit untuk mereka pahami.” Tapi saya belajar tidak ada konsep yang terlalu sulit untuk anak-anak, mereka menangkap semua yang terjadi di sekeliling mereka, dan punya pendapat tentang apa yang terjadi. Hanya saja mereka melihatnya dengan cara yang berbeda. Ada kedalaman dalam kesederhanaan mereka, yang terlalu sering kita acuhkan. Dan saya belajar untuk menulis dalam pikiran yang sederhana dan tidak banyak gaya. Yang penting dan yang tidak penting untuk mereka begitu berbeda.
Ini sangat menyenangkan tapi juga membuat frustasi. Banyak sekali proses mundur untuk melihat lagi agenda cerita yang saya tulis, dan proses unlearning itu mungkin yang tersulit. Dalam konteks menulis untuk pembaca muda/ awal adalah belajar menulis yang efektif dan sederhana tapi tetap selalu menarik. Di setiap proses bercerita, saya harus melepas ke-orangdewasa-an saya dan mencoba masuk lagi ke ‘tanpa-batasan’ dalam dunia yang sebenarnya ada batasan. Kepala saya penuh dengan ide-ide yang seringnya kompleks, sampai saya bingung sendiri. Tapi saya ingin ini jadi cerita mereka, jadi saya haru menulis dan berbicara seperti mereka. Menulis dalam kalimat pendek, dengan kosa kata terbatas dan pemilihan kata yang pas, dengan memikirkan gambar yang tepat sebagai perpanjangan cerita dalam batasan 32 halaman. Saya harus menyederhanakan diri. (Oh, belum lagi tantangan menulis dalam bahasa Indonesia yang sederhana untuk anak-anak sambil memikirkan semua konteks budaya dalam bahasa kita — ini bahasan untuk lain kali saja ya.)
Gaiman bilang lagi tentang mendorong anak-anak untuk membaca – Gaiman memang salah satu penulis favorit saya yang tulisan untuk pembaca dewasa dan anak-anaknya sama-sama saya agungkan. Dia bilang: “Children should be allowed to read whatever they enjoy,”dan kalau ada yang bilang buku anak itu jelek, “It’s tosh. It’s snobbery and it’s foolishness,” kita sedang menjadi sombong dan bodoh karena kita pikir kita – sebagai orang dewasa – lebih tahu. Niat kita baik, ingin memastikan mereka membaca bacaan yang menurut kita baik, tapi “well-meaning adults can easily destroy a child’s love of reading. Stop them reading what they enjoy or give them worthy-but-dull books that you like.”
Tidak ada cerita anak yang jelek. Yang ada hanya cerita anak yang membosankan, tapi itu pun mungkin hanya membosankan untuk anak tertentu. Anak lain akan merasa senang sekali membaca cerita yang sama. Namun itu berarti kita harus menciptakan konten yang begitu bervariasi supaya mereka bisa menemukan konten yang menarik buat mereka. Di tahap ini yang penting buat saya adalah membuat bacaan bermutu yang adalah membiarkan anak-anak membaca yang mereka senangi, supaya mereka menikmati kegiatan membaca itu sendiri. Yang bisa saya dan Seumpama lakukan adalah membuat cerita anak sebanyak mungkin, dan mendorong banyak alternatif bacaan, dengan kualitas sebaik mungkin, supaya mereka membaca karya tulisan yang baik.
Saya bersyukur selama perjalanan dengan Seumpama, kami bertemu dengan banyak teman-teman yang punya ketertarikan yang sama, dan tempat kami belajar banyak hal seperti Litara, Room to Read, Provisi Media, Let’s Read, dan Pibo. Diskusi dengan mereka seringkali jadi isi bensin buat berjalan lagi. Kami sedikit banyak masih terus berjalan melihat apa yang teman-teman penggiat literatur anak kerjakan.
Kembali lagi ke hasil Sayembara Penulisan Cerita Anak, konteks sayembara itu penulisannya sedikit lebih panjang dari yang saya biasa tulis, saya hanya bisa bayangkan berapa kali lebih sulit untuk melakukannya. Menulis untuk cerita anak tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Saya rasa banyak yang masih harus kita kulik dan tantang cara kita menulis cerita anak dalam bahasa Indonesia. Masih banyak yang perlu kita perbaiki supaya lebih banyak lagi tulisan yang lebih baik untuk para pembaca awal. Kita sudah terlalu lama mengacuhkan kebutuhan membaca mereka.