CeritaCerita #02: Greta di Negeri Raksasa bersama Fenny Irawati
Kami mengundang Fenny Irawati, penulis Greta di Negeri Raksasa di episode kedua CeritaCerita di IG Live kami Desember kemarin. Dalam obrolannya, Rassi dan Fenny melihat kembali proses menulis dan produksi dari perspektif yang tidak hanya teknis, tapi juga pembelajaran menjalani proses kreatif dan kontribusi pihak-pihak yang membentuk cerita dan karya itu sehingga ada.
Fenny juga bercerita bagaimana keinginan dan keputusannya untuk menghadirkan cerita ini dalam bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba membawa buku ini hadir ke desa-desa di sekitar Danau Toba dan bertemu dengan teman-teman kecil yang menikmati cerita dalam bahasa yang mereka pakai di rumah juga.
Kami menghadirkan beberapa bagian dari obrolan kami dengan Fenny, dan beberapa topik yang sempat kami obrolkan di belakang layar IG Live. Obrolan Rassi dan Fenny selengkapnya bisa ditonton di bisa dilihat di IGTV Seumpama.
(S: Seumpama, FI: Fenny Irawati)
S: Salam kenal, boleh perkenalkan diri?
FI: Saya Fenny Irawati, tinggal di Medan Sumatera Utara. Seorang ibu dari dua putri, penyuka kerajinan tangan dan kegiatan anak. Saya juga bekerja di rumah dengan menerima pesanan exclusive packaging. Sebelum pandemi saya aktif di vihara untuk membuat program anak-anak dan mengadakan kegiatan sosial yang fungsinya mengajak anak bermain bersama. Selama pandemi saya juga membuat kegiatan craft online tidak berbayar dengan tujuan anak-anak bisa tetap seru di rumah saja.
S: Apa Greta di Negeri Raksasa ini buku pertama yang ditulis?
FI: Iya. Jadi pertama kali kami ke Kabin Kebun dan itu kali pertama ketemu Mba Reda secara langsung. Beliau adalah teman baik teman saya. Sebelum ke sana muncul ide saja, bagaimana kalau Mba Reda kasih kelas menulis? Begitu beliau berkenan, langsung saya jawab oke (dengan super gembira). Saya hubungi Lina (Kusuma Dewi, red. Penulis Kado buat Karen) juga untuk sama-sama ke Kabin Kebun dan ide kelas menulis ini. Akhirnya kami mendapat tugas untuk membuat cerita pendek, tentang apapun untuk nanti beliau bahas di kelas.
Singkatnya dari kelas itu saya terinspirasi bahwa menulis itu seru, menyenangkan, dan mestinya semua orang butuh bisa menulis.
S: Boleh cerita proses di balik penulisan buku ini?
FI: Kelas itu kemudian berlanjut secara online karena kami harus balik ke kota masing-masing. Bu Guru (Mba Reda) memberi kami gambar dan diminta bikin cerita dari satu gambar itu. Lalu dari tulisan itu dikoreksi.
Kalau ide buku dalam dua bahasa itu muncul dari saya. Tiba-tiba saja muncul karena mau bikin sesuatu untuk Hari Anak Nasional. “Bikin buku anak yuk, dua bahasa, Indonesia dan bahasa daerah.” Sepertnya seru kalau ada buku bagus dalam semua bahasa daerah di Indonesia. Ide itu langsung didukung penuh oleh Frisca(teman saya) dan Mba Reda. Lalu saya telpon Lina untuk menulis juga. Hahahahaha.
Tapi ternyata, menulis buku dan menerbitkan buku adalah dua hal yang berbeda kerepotannya. Untuk proses penulisan Mba Reda beneran coaching kita (secara) personal sampai jadi tulisan yang bagus. (Kami) diajak harus mikir kata-kata yang pas untuk anak, tidak mengintimidasi dan harus benar-benar membayangkan jika buku itu dibaca anak usia yang kita inginkan, mereka tuh gimana ya. Jadi bukan dari kacamata kita sebagai penulis / orang dewasa. Itu mengasyikkan.
Kalau mencari penerjemah, dari awal sampai akhir sudah ganti 4 kali. Awalnya saya kira yang penting orang Batak Toba pasti bisa. Ternyata dua orang pertama menyerah, karena ada beberapa kosakata yang mereka tidak mengerti. Lalu akhirnya penerjemah terakhir bisa menyelesaikan semua naskah dengan bantuan konfirmasi ke opung / neneknya (usia 95 tahun). Dari situ saya baru sadar bahwa penerjemahan harus ada tim, makanya saya minta teman satu lagi yang memang mendalami bahasa Batak Toba untuk menyempurnakan menjadi bahasa sehari-hari dan mengikuti kamus Bahasa Batak Toba juga.
S: Selama proses pembuatannya ada referensi penulis/ cerita yang digunakan?
Saya suka baca buku Enid Blyton, makanya mungkin gaya penulisannya mirip ke situ. Kalau tentang anak yang suka seenaknya terhadap barang yang dimiliki terinspirasi oleh curhatan mama teman anak saya yang susah ngajarin anaknya menjaga barang. Dia nanya ke saya gimana ngajarin Quinn (anak saya) untuk bisa otomatis membereskan mainannya setelah main.
S: Ada ngga hal yang Anda ingin lebih banyak orang tahu tentang buku anak, membuat buku anak, atau membaca untuk anak?
FI: Membaca buku untuk anak itu wajib dilakukan orang tua. Bisa bergantian juga anak yang membacakan buku untuk kita. Apa yang diingat anak adalah momen Bersama kita, gimana kita diskusi tentang isi cerita, anak bertanya tentang kosakata baru, atau ekspresi kita saat membaca. Setelah itu baru diajak untuk menuliskan perasaannya, ini beneran cara yang baik untuk problem solving.